Minggu, 03 Mei 2015

MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL

MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL
1.         Sejarah Gedung Museum Kebangkitan Nasional
1.1       Sebelum Proklamasi
Museum Kebangkitan Nasional berada pada sebuah komplek bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda. Gedung nan megah menempati areal yang cukup luas dengan fungsinya pun berbeda-beda pada kurun waktu sesuai dengan pemerintahan yang berkuasa pada masanya mulai dari masa pemerintahan Hindia Belanda hingga sekarang.
Gedung tersebut dibangun pada tahun 1899, awal keberadaannya pada masa pemerintahan Hindia Belanda dipergunakan sebagai pendidikan Sekolah Dokter Djawa dan sekolah kedokteran bumiputera atau yang lebih dikenal dengan sebutan STOVIA (School Tot Opleding Van Inlandsche Artsen) yang secara resmi dibuka pada tahun 1902 juga terdapat asrama didalamnya untuk para pelajar yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan diharuskan mengikuti selama 10 tahun. Dengan semakin berkembangnya sekolah kedokteran ini sehingga tempatnya pun sudah tidak memadai, maka pada tahun 1920 dipindah kejalan Salemba  (sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), sedang bangunan STOVIA yang lama dipergunakan untuk asrama dan sekolah pendidikan lainnya seperti Sekolah Asisten Apotiker, MULO (setingkat SMP) dan AMS ( setingkat SMA). Dengan masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, mengakhiri pembangunan Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan pembelajaran. Pada tahun 1942-1945 saat pemerintahan Jepang bekuasa memfungsikan gedung Eks-STOVIA ini sebagai tempat penampungan tawanan perang tentara-tentara Belanda.
1.2       Setelah Proklamasi
Pada masa proklamasi kemerdekaan indonesia 1945 sampai 1973,gedung Eks-STOVIA dimanfaatkan sebagai tempat hunian bagi bekas tentara KNIL Belanda yang berasal dari Ambon beserta keluarganya. Gedung STOVIA  menjadi salah satu tempat istimewa dalam sejarah perjalanan negeri ini,  karena menjadi saksi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan yaitu Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo (Jong Java), Jong minahasa dan Jong Ambon dan lain-lain. Di gedung ini juga beberapa tokoh pergerakan seperti Ki Hadjar Dewanrata, Tjipto Mangoenkoesoemo, R. Soetomo dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya pernah menimba ilmu.
Mengingat peristiwa-peristiwa sejarah penting pernah terjadi di gedung ini, maka ada upaya untuk melestarikan gedung ini sebagai gedung bersejarah. Pada tahun 1973 Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta melakukan pemugaran bangunan secara keseluruhan. Bangunan gedung Eks-STOVIA yang sudah beralih fungsi sebagai hunian tempat tinggal, dikembalikan kondisinya seperti pada saat menjadi sekolah dokter bumiputera. Sedangkan masyarakat atau keluarga Ambon yang sempat menghuni gedung ini dipindahkan dan ditampung dikompleks perumahan di daerah Cengkareng Jakarta Barat.  
Kegiatan pemugaran dan renovasi gedung Eks-STOVIA oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta selesai dalam waktu satu tahun. Pada 20 Mei 1974 presiden Soeharto meresmikan penggunaan Gedung Eks-STOVIA sebagai gedung bersejarah yang diberi nama “Gedung Kebangkitan  Nasional” yang selanjutnya pengelolaan dilaksanakan oleh pemerintahan Daerah provinsi DKI Jakarta.
Sejak diresmikannya Gedung kebangkitan Nasional, didalamnya deselanggarakan beberapa museum yaitu Museum Pers, Museum Wanita Dan Museum Boedi Oetomo. Juga dimanfaatkan untuk perkantoran-perkantoran swasta  atau yayasan, antara lain oleh kantor Yayasan Pembela tanah Air (YAPETA), Perpustakaan Yayasan Idayu, Yayasan Perintis Kemerdekaan dan Lembaga Perpustakaan Dokumentasi Indonesia.
Karena di dalam Gedung Kebangkitan Nasional ini pernah terjadi peristiwa sejarah yang sangat penting bagi perjuangan bangsa Indonesia, mendorong Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada 27 September 1982 mengalihkan pengelolaan gedung ini ke pemerintah Pusat yaitu melalui Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kondisi Gedung Kebangkitan Nasional yang kokoh dengan usianya yang cukup lama serta memiliki nilai sejarah dan nilai aristik,maka pada 12 Desember 1983 Pemerintah menetapkan gedung ini sebagai Benda Cagar Budaya. Penetapan ini membawa konsekuensi gedung ini harus tetap dilestarikan, dipelihara, dan tidak boleh dirombak.
Pada 17 Februari 1984 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidiikan dan Kebudayaan Nomor 03/0/1984 tentang Struktur organisasi dan tata kerja penyelenggaraan museum di dalam Gedung Kebagkitan Nasional dengan nama Museum Kebangkitan Nasional.
            Guna memfungsikan gedung Kebangkitan Nasional sebagai museum, maka museum-museum yang ada yaitu Museum Boedi Oetomo, Museum Kesehatan, Museum Pers dan museum Wanita dilebur menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Dalam Pengembangan selanjutnya kantor-kantor swasta yang terdapat di dalam gedung dipindah ke luar gedung, dan ruangan perkantoran yang sudah kosong tersebut dipergunakan untuk pengembangan pameran tetap museum.
Sehubungan dengan adanya transisi organisasi dibidang kebudayaan, pada 13 Desember 2001 kemudian menjadi Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata sehingga berpengaruh terhadap unit di bawahnya termasuk UPT Museum Kebangkitan Nasional. Dengan demikian Museum Kebangkitan Nasional merupakan  Unit Pelaksana Teknik dari Kementrian,Kebudayaan,dan pariwisata di bawah Direktorat Jenderal Sejarah Dan Purbakala yang teknis pembinaannya berada dibawah Direktorat Museum, hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor:P.32/OT.001/MKP-2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum Kebangkitan Nasional.
1.3      Awal Berdirinya Pendidikan Kedokteran
Keberadaan Museum Kebangkitan Nasional tidak dapat dilepaskan dari awal keberadaan  pendidikan kedokteran di Indonesia. Awal berdirinya pendidikan kedokteran tersebut ada kaitannya dengan tersebarnya wabah penyakit menular pada 1847 di daerah Banyumas dan Purwokerto. Wabah penyakit tersebut seperti tipes, kolera, disentri dan lain-lain tidak dapat dibrantas oleh tenaga medis yang ada masa pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya sangat terbatas, begitu juga dengan cara pengobatan yang telah ada pada waktu itu dengan cara tradisional, sehingga ada usul dari Kepala Jawatan Kesehatan yaitu Dr.  W. Bosch untuk mendidik beberapa anak Bumiputera menjadi pembantu dokter Belanda. Pada 1849 keluar keputusan Gubernemen yang menetapkan bahwa dirumah sakit militer akan dididik 30 pemuda Jawa dari keluarga baik-baik serta pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa untuk menjadi dokter pribumi dan “vaccinateur” (menteri cacar). Selesai pendidikan mereka harus bersedia masuk dinas pemerintahan sebagai menteri cacar.
Bulan Januari 1851 berdirilah Sekolah Dokter Jawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden dengan masa pendidikan 2 tahun. Pendidikan diikuti 12 orang yang semuanya Berasal dari Pulau Jawa. Menteri pelajaran meliputi cara mencacar dan memberikan pertololongan pada penderita sakit panas dan sakit perut. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda.
Pada 5 Juni 1853 Sekolah Dokter Jawa meluluskan 11 pelajar dan menyandang gelar Dokter Jawa. Mereka dipekerjakan sebagai menteri cacar, diperbantukan di Rumah Sakit dan membantu dokter militer merangkap dokter sipil. 
Sejak tahun 1856 Sekolah Dokter Jawa mulai menerima murid yang berasal dari luar Pulau Jawa, yaitu  dari Minangkabau (Sumatera) 2 orantg dan Minahasa (Sulawesi) 2 orang. Tahun 1864 lama pendidikan Sekolah Dokter Jawa ditingkatkan dari 2 tahun menjadi 3 tahun dengan jumlah siswa dibatasi 50 orang. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas para dokter sehingga mampu bekerja sendiri dibawah pengawasan dokter Belanda dan Kepala Pemerintahan Daerah. Namun pengabdian para dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa di masyarakat mendapatkan penolakan dari beberapa dokter Belanda, sehingga sejak tahun 1864 pemerintah kolonial mencabut wewenang praktek dokternya, dan memperkerjakan mereka sebagai mantri cacar. Perubahan besar terjadi pada tahun 1875 karena lama pendidikannya ditingkatkan menjadi 7 tahun, dengan jumlah murid 100 orang.
1.4       Berdirinya STOVIA
Tahun 1899 atas usul Dr.  H.F Roll dibangun gedung baru. Pembangunan gedung ini mendapatkan bantuan dari 3 orang pengusaha Belanda dari Deli yaitu, P.W Janssen, J. Nienhuys dan H.C van den Honert. Bulan September 1901 di Betawi muncul wabah penyakit beri-beri dan kolera dan juga menimpa para pelajar Sekolah Dokter Jawa, sehingga pemindahan pelajar dari rumah sakit militer Weltevreden ke gedung baru di Hospitaalweg tertunda.
               Pada 1 Maret 1902 gedung baru tersebut mulai resmi digunakan untuk STOVIA (School Tot Opleiding Van Indlandsche Artsen) yaitu Sekolah Kedokteran untuk Bumiputera. Munculnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah Dokter Jawa. Selama menjalani pendidikan, pelajar STOVIA diharuskan tinggal didalam asrama yang menerapkan sikap disiplin dan tanggung jawab yang ketat. Jadwal kegiatan sudah ditentukan dari pagi sampai malam hari, bagi mereka yang melanggar ketentuan akan mendapatkan hukuman sesuai dengasn kesalahan yang diperbuatnya. Pelajar yang masuk ke STOVIA diwajibkan membuat surat perjanjian (acte van verband). Isi surat tersebut akan mengikat lulusan STOVIA untuk bekerja pada dinas pemerintah selama 10 tahun berturut-turut, dimana tenaganya diperlukan. Kalau tidak, ia bersama orang tua atau walinya akan mengembalikan biaya pendidkan selam 9 tahun pada pemerintah. Namun, pada perjanjian tersebut merisaukan dan memberatkan pelajar-pelajar masih melangsungkan pendidkannya sehingga diantara mereka banyak yang berhenti dan sekolahpun kekurangan murid, sehingga surat perjanjian tersebut ditinjau kembali dan akhirnya ketentuan itu hanya diberlakukan pada pelajar yang baru diterima. Setelah itu proses pendidikan pun berlangsung normal kembali. Pada 1909 STOVIA berhasil meluluskan muridnya, buat mereka yang mengakhiri pendidikan dengan baik di STOVIA tidak lagi bergelar dokter jawa melainkan Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Mereka berwenang memperaktekan ilmu kedokteran seluruhnya termasuk kebidanan. Jumlah pelajar STOVIA terus bertambah dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka perlu dibangun gedung baru sebagai tempat pendidikan dan praktek pelajar STOVIA. Tahun 1919 berdiri rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Salemba yang dipimpin oleh Dr. Hulskoff. Dirumah sakt inilah dijadikan sebagai tempat praktek pelajar STOVIA karena sarana dan prasaranannya lebih lengkap dan modern.
Pada 5 Juli 1920 secara resmi seluruh kegiatan pendidikan STOVIA dipindahkan ke jalan Salemba yang sampai sekarang dikenal dengan “Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia’’. Sedangkan STOVIA lama dipergunakan untuk asrama pelajar. Pada 1925 gedung STOVIA lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputra, tapi menjadi tempat  pendidikan untuk MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan sekolah Apoteker. Dan Masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1942 mengakhiri penggunaan Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan belajar mengajar.
2.        Kunjungan ke Museum Kebangkitan Nasional
-Rabu, 22 April 2015-
Kelompok 4 melakukan kunjungan ke tempat situs sejarah yaitu Museum Kebangkitan Nasional pada hari Rabu, 22 April 2015. Kelompok 4 terdiri dari Agung Satria Arfana, Encep Suhendar, Ines Adi Putra, Rizki Nuzul, Royman Simarangkir, Siti Hartinah, dan Tia Febrita. Museum Kebangkitan Nasional berlokasi di pusat perkotaan dan letaknya strategis, berdekatan denga Atrium Senen Mall, Terminal dan Stasiun Senen, Tugu Tani, Monumen Nasional dan lain-lain tepatnya berlokasi di Jalan Dr. Abdul Rahman Saleh No. 26 Jakarta Pusat dengan lintasan jalan protokol arah selatan jalan Kwitang dan arah timur jalan Senen Raya. Untuk menuju ke lokasi Museum Kebangkitan Nasional, kami menggunakan KRL Commuter Line. Kami berangkat pukul 12.05 dari stasiun Pondok Cina lalu naik KRL Commuter Line jurusan Jakarta Kota dan turun di stasiun Cikini. Perjalanan menuju stasiun Cikini hanya memakan waktu sekitar 30 menit dan Kami tiba di stasiun Cikini sekitar pukul 12.35 WIB. Ongkos yang diperlukan untuk satu kali perjalanan kereta sebesar Rp 2.000.





Setibanya di stasiun Cikini, kami harus menyambung metro mini P17 dan turun di dekat halte busway Senen lalu jalan kaki sekitar 300 meter arah Atrium Senen Mall. Ongkos yang diperlukan untuk satu kali perjalanan dengan menggunakan metro mini sebesar Rp 4.000 dan total waktu yang diperlukan untuk tiba di Museum Kebangkitan Nasional sekitar 1 jam.
-Pukul 13.00 WIB-
Kami tiba di Museum Kebangkitan Nasional pukul 13.00 WIB. Museum Kebangkitan Nasional dijaga oleh dua orang penjaga yang berjaga di dekat pintu masuk. Museum ini buka setiap hari kecuali hari senin dan hari besar, dari pukul 08.30 – 15.00 kecuali pada weekend, museum ini tutup pukul 14.00 WIB. 


Kami harus membeli tiket terlebih dahulu sebelum berkeliling di Museum Kebangkitan Nasional. Harga tiketnya sebesar Rp 2.000 sudah termasuk buku panduan dan bollpoint. Berikut ini adalah tiket dan maket Museum Kebangkitan Nasional :


Museum Kebangkitan Nasional mempunyai beberapa ruangan pameran tetap yang disusun  secara kronologis berdasarkan periodesasi dan tematik sehingga memudahkan kami dalam memahami makna dan pesan dari koleksi yang dipamerkan. Ruangan-ruangan tersebut terbagi menjadi ruang pengenalan, ruang sebelum pergerakan nasional, ruang awal kesadaran nasional, ruang pergerakan nasional, dan ruang-ruang tematik seperti ruang pendidikan STOVIA, ruang dosen STOVIA, ruang peragaan kelas STOVIA, dan ruang peragaan kelas Kartini. Kami tidak memasuki semua ruangan di atas karena keterbatasan waktu. Selain itu, museum ini juga dilengkapi oleh taman yang bersih dan terawat serta kantin yang menjual berbagai makanan dan souvenir.
Kami berkeliling mulai dari ruangan pengenalan, yaitu ruangan yang menggambarkan perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari masa kedatangan Eropa, munculnya perlawanan lokal, masa pergerakan bangsa Indonesia sampai dengan tercapainya perjuangan bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya adalah ruang sebelum pergerakan nasional, yaitu ruangan yang menampilkan koleksi lukisan dari penderitaan akibat kolonialisme dan perjuangan rakyat dalam melawan kolonialisme. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengelilingi ruang awal kesadaran nasional, yaitu ruangan yang menampilkan penjelasan tentang penerapan politik etis di Indonesia oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajahan yang dimulai dengan propaganda tentang pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk merubah nasib diri dan bangsanya. Tokoh yang mendukung aksi tersebut adalah Wahidin Sudirohusodo, seorang lulusan dokter jawa dan juga pensiunan guru yang melakukan langkah nyata dengan mengelilingi Pulau Jawa dalam rangka menyosialisasikan studiefonds, yaitu dana belajar yang diperuntukan bagi pelajar yang kurang mampu. Berikut ini merupakan foto-foto yang kami ambil di dalam ruang pengenalan, ruang sebelum pergerakan nasional, dan ruang awal kesadaran nasional.





Selanjutnya Kami mengelilingi ruang pergerakan nasional, yaitu ruangan yang menampilkan penjelasan dari lahirnya Organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 di STOVIA, yang merupakan titik awal pergerakan nasional. Organisasi Boedi Oetomo menjadi inspirator dan inisiator bagi organisasi-organisasi pergerakan nasional lainnya. Organisasi-organisasi pada masa pergerakan berjuang dalam berbagai bidang yang berbeda tetapi saling melengkapi. Organisasi Boedi Oetomo berjuang dalam lapangan sosial, budaya dan pendidikan, Sarekat Dagang Islam berjuang dalam mengembangkan ekonomi rakyat sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi ekonomi asing, Indische Partij berjuang dalam kancah politik, Indische Vereeninging berjuang di luar negeri dalam bidang pendidikan dan politik, serta Muhammadiyah yang berjuang dalam bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan. Posisi Boedi Oetomo sebagai perintis Kebangkitan Nasional mendorong pemerintah menjadikan hari lahirnya pada tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati sejak tahun 1948. Ruangan ini memiliki patung tokoh-tokoh Organisasi Boedi Oetomo, seperti Soetomo di dalamnya. Berikut merupakan foto-foto yang kami ambil dalam ruang pergerakan nasional.






Ruangan yang Kami kunjungi selanjutnya adalah ruang-ruang tematik. Ruang tematik adalah suatu ruangan yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di gedung ini. Ruang tematik terdiri dari ruang pendidikan STOVIA, yaitu ruangan yang menampilkan informasi tentang perkembangan pendidikan kedokteran di Indonesia, mulai dari yang melatar belakangi munculnya pendidikan kedokteran hingga perkembangannya sampai sekitar Proklamasi Kemerdekaan; ruang dosen STOVIA, yaitu ruangan yang menampilkan diorama suasana diskusi dosen-dosen STOVIA dalam membahas Soetomo dan pelajar STOVIA lainnya yang mendirikan organisasi Boedi Oetomo; ruang peragaan kelas STOVIA, yaitu ruangan yang menampilkan proses kegiatan belajar mengajar pada masa STOVIA yang divisualisasikan secara utuh untuk menggambarkan suasana pada saat itu; dan ruang peragaan kelas Kartini, yaitu ruangan yang menampilkan diorama kelas Kartini yang menggambarkan perjuangan Kartini dalam memberikan pendidikan kepada kaum hawa. Sayangnya, tidak semua ruang tematik dapat kami kunjungi karena keterbatasan waktu dan ada sebagian ruang tematik yang hanya dibuka pada hari tertentu. Berikut merupakan foto-foto yang kami ambil di dalam ruang-ruang tematik.






 Setelah berkeliling selama 45 menitan, kami memutuskan beristirahat sebentar lalu shalat. Museum Kebangkitan Nasional mempunyai taman yang bersih dan terawat, akan tetapi, kondisi mushola dan toilet tidak terlalu diperhatikan oleh petugas, terlihat dari toilet yang kurang bersih dan tidak tersedianya mukena yang memadai untuk pengunjung pada mushola wanita. Berikut merupakan foto-foto keadaan taman dan mushola.

 
  
Kami melanjutkan untuk berkeliling setelah melaksanakan shalat. Ruangan yang menjadi sasaran kami selajutnya adalah ruang STOVIA, yaitu ruangan yang menampilkan peralatan-peralatan kedokteran pada masa itu, seperti alat rontgen, alat pemecah kepala yang digunakan untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan mahasiswa/i STOVIA tentang isi kepala manusia terutama otak, elektroradiograf atau alat pencatat detak jantung, boteka atau tempat untuk menyimpan racikan obat, dan lain-lain yang akan kami perlihatkan fotonya di bawah ini. Selain itu, di ruangan ini juga ditampilkan biola dengan alat geseknya milik R. Maryono.
   
  
  
  
  
  
  
Tepat pukul 15.00 kami selesai mengelilingi Museum Kebangkitan Nasional. Menurut kami, Museum Kebangkitan Nasional merupakan situs sejarah yang wajib dikunjungi, terutama untuk mahasiswa/mahasiswi yang mengambil jurusan kedokteran karena selain terdapat sejarah tentang pendidikan kedokteran di Indonesia, museum tersebut juga bersih, terawat, dan nyaman untuk melakukan kunjungan. Sebelum kami pulang ke rumah masing-masing, kami makan dulu di suatu tempat makan di pinggir jalan, setelah itu kami berjalan kaki menuju stasiun Gondangdia dan pulang ke rumah masing-masing. Demikianlah pengalaman kami saat mengunjungi Museum Kebangkitan Nasional, kami sangat senang karena kami bisa mendapatkan pengetahuan lebih tentang sejarah pendidikan di Indonesia